Memulai karier dari sinetron pada 2005, kini genap dua dekade Marthino Lio berkiprah di dunia seni peran. Ia telah menang dua Piala Citra kategori akting.
Jakarta Jelang perilisan film Tumbal Darah karya sineas Charles Gozali di bioskop seluruh Indonesia pada 23 Oktober 2025, Marthino Lio menoleh ke belakang sejenak untuk mensyukuri rekam jejak kariernya di dunia seni peran Tanah Air.
Masih segar dalam ingatan, kali pertama Marthino Lio dalam sinetron Taubat, Iman, dan Hidayah yang dirilis pada 2005. Siapa sangka 20 tahun kemudian, ia menggenggam 2 Piala Citra untuk dua kategori berbeda.
Pertama, Pemeran Utama Pria Terbaik lewat Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Kedua, Pemeran Pendukung Pria Terbaik via film The Big 4. Dua dekade berkarier, Marthino Lio telah menjajal beragam genre termasuk film horor.
Kadang jenuh menghampiri. “Memang ada sedikit jenuhnya tapi bagaimana caranya kita cari titik imbang dan selingannya. Kebetulan kemarin dapat pekerjaan untuk menyutradarai, kayaknya seru ya. Lebih seru! Wah, seru juga,” katanya.
Mempertahankan Lebih Susah
Dalam wawancara eksklusif dengan Showbiz Liputan6.com di Gedung KLY Jakarta Pusat, baru-baru ini, Marthino Lio mengakui bahwa mempertahankan pencapaian lebih sulit daripada meraihnya.
“Benar ujaran yang menyebut mempertahankan lebih susah daripada meraih,” Marthino Lio menyimpulkan seraya mengenang momen mula masuk bursa ajang penghargaan lewat film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta.
Masuk Radar Penghargaan
Lewat film karya sineas Hanung Bramantyo itu, Marthino Lio meraih nominasi Piala Citra Pemeran Pendukung Pria Terbaik. Empat tahun kemudian, ia meraih Piala Cira pertama. Sejak itu, karier Marthino Lio makin gemilang.
“Mulai masuk radar ketika membintangi film Sultan Agung karya sineas Hanung Bramantyo, itu pun setelah sekitar 13 merintis karier. Lama (prosesnya),” ujarnya lalu mensyukuri hasil yang tak mengkhianati usaha.
Berkolaborasi dengan sejumlah sineas papan atas Tanah Air membuat kemampuan akting Marthino Lio makin tajam. Salah satunya, dipoles Charles Gozali dalam film Tumbal Darah. Ia menilai Charles Gozali sutradara demokratis.
Sutradara yang Demokratis
“Sutradara yang demokratis. Misalnya, Mas Hani Pradigya, director of photography kami, dia kalau ngeset lampu butuh waktu karena gambarnya lebar-lebar. Mas Charles rela memberi waktu ekstra. Pas dilihat di monitor memang bagus,” urai Marthino Lio.
Berkaca pada pengalaman ini, Marthino Lio menyadari bahwa tiap peman dan kru film Tumbal Darah berkontribusi lebih dan lebih lagi. Mengingat, film adalah kerja kolektif. Setiap ide adalah penting dan layak untuk diuji.
“Dia (Charles Gozali) sering bilang: Oke, coba kita diskusi, coba di satu scene ini dan mari lihat hasilnya,” pungkasnya. Marthino Lio optimistis Tumbal Darah akan memberi warna baru dalam genre horor Indonesia.
sumber : Liputan6.com
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5371802/original/053020200_1759722275-IMG_0074-01.jpeg)
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5371803/original/078824200_1759722278-IMG_9982-01.jpeg)
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5371804/original/004084600_1759722280-IMG_0012-01.jpeg)