Review Film: Para Betina Pengikut Iblis

(SPOILER ALERT) Review film Para Betina Pengikut Iblis ini sedikit mengandung bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat kamu yang belum nonton.

Saat Sofia Coppola membuat Marie Antoinette (2006), banyak khalayak yang dibuat bingung dengan keberadaan sepatu Converse dalam film tersebut. Tentu ini adalah adegan janggal, karena Antoinette hidup pada abad jauh sebelum pabrik Converse ada.

Namun, rupanya adegan itu adalah bentuk "keisengan" Coppola,. Ia memang sejak awal mau membuat Marie Antoinette versi funny dan funky. Baginya, Converse adalah jembatan untuk menunjukkan santainya Marie Antoinette, serta supaya anak muda tahun 2006 bisa relate sama kisahnya dan keegoisan Antoinette.

Sayangnya. keberadaan freezer dalam Para Betina Pengikut Iblis ketika latar yang diambil adalah (kira-kira) pascakemerdekaan, kita akan mempertanyakan kualitas film ini.

Para Betina Pengikut Iblis memiliki potensi untuk menjadi film horor gila. Bagaimana tidak, kamu bak masuk ke wahana rumah hantu yang juga menampilkan tempat penyiksaan sadis. Film ini membawa kita pada insting manusia untuk bertahan hidup yang akhirnya menampilkan sisi egois mereka hingga darah bercecer di mana-mana.

Sementara itu, sang iblis yang diperankan oleh Adipati Dolken berperan sebagai pembisik. Mungkin, fungsinya agak sama seperti Lucifer Morningstar dalam serial Lucifer. Ia enggak berbuat jahat, sebab ia hanya membantu mengeluarkan your biggest desire, hasrat terdalammu.

Dipicu oleh kemiskinan dan rasa kehilangan, para perempuan di dalam film ini rela menjadi mitra iblis, melakukan hal-hal di luar nalar, mengeluarkan hasrat terdalam yang bahkan iblis pun enggak akan melakukannya.

Jika film fokus pada hal itu, memperkuat para karakternya, dan enggak bikin beberapa kesalahan seperti freezer, film ini bisa asyik dinikmati. Sayangnya, film ini terjebak sama plot twist dan hura-hura gore sampai melupakan nalar dan ceritanya.

Gila, tapi membingungkan

 

Para Betina Pengikut Iblis harusnya punya cerita yang sederhana. Sumi, gadis penyayang bapaknya yang terpaksa jualan gulai daging manusia demi menyembuhkan sang ayah dan mencari keberadaan ibu. Kemudian, Sari, gadis yang sudah bertaubat dari profesi dukun tetapi kembali terjerumus dosa tersebut karena dendam akan kematian sang adik. Ada pula Asih, perempuan misterius yang punya banyak rahasia. Dan enggak lupa, dokter Freedman yang punya kaitan dengan pembunuhan dan orang autis yang dilatih untuk melakukan kejahatan.

Semuanya bisa dijalin dengan apik dan punya potensi untuk memiliki plot twist yang gila. Setelah adanya iblis, suasana desa gelap, darah, daging manusia, kanibalisme, dokter gila, anak autis, dendam, ternyata masih ada lagi fakta tentang ibu Sumi yang enggak akan disangka penonton. 

Mengapa penonton enggak menyangkanya? Apakah karena film ini brilian? Sayangnya, bukan! Film ini justru susah ditebak karena menyelipkan terlalu banyak hal yang sebetulnya dipaksain untuk dihubung-hubungkan.

Plot film ini ibarat laci berisi tas, kertas, roti, kipas angin, hingga obeng: banyak barang, susah ditemukan koneksinya. Dipaksakan saja supaya menjadi utuh. Inilah yang membuat film ini agak susah diberi nilai tinggi.

 

sumber: kincir.com